Saturday, June 28, 2008

Dibalik Pilkada Jabar

Dibalik Pilkadal Jabar
Oleh: Syarief HSE


Satu, dua, tiga, empat. Begitulah seorang istruktur senam memberikan aba-aba. Pesertanya yang terdiri dari ibu-ibu, gadis remaja bahkan bapak-bapak tampak patuh mengikutinya.
Minggu pagi itu tampak tidak ada yang berbeda di Lapangan Tegallega, Bandung. Padahal hari Minggu itu merupakan hari dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat. Lapangan Tegallega yang sering dijadikan arena olahraga di hari Minggu itu tetap penuh. Seolah-olah Pilkada bukan hari istimewa dan tak berbeda dengan hari biasa.

Seorang pengunjung, Ibu Ai (54) mengaku tahu kalau hari itu merupakan pelaksanaan Pilkada. Namun tidak menghalangi niatnya untuk sekedar gerak jalan di hari yang cerah itu. Toh memilih bisa dilakukan setelah olah raga. Apalagi jadwal pencoblosan sampai jam satu siang sehingga ia merasa cukup punya waktu. Ketika ditanya tentang kriteria calon pilihannya, Ibu Ai mengharapkan pemimpin yang mampu memperbaiki perekonomian dan memperhatikan rakyat seperti dirinya.

Apa yang ada di benak Ibu Ai mungkin sama juga dengan pengunjung lainnya. Di salah satu pojok, terdengar celotehan anak baru gede yang mungkin baru pertama kali memilih. Mereka berdebat tentang siapa yang mau dipilih. Yang satu merasa jagoannya yang akan menang. Yang lain tidak terima dan merasa jagoannya yang paling hebat. Yang lain malah meledek temannya yang belum cukup umur untuk memilih.

Buat pedagang, kesempatan meraup untung di hari Minggu itu tidak disia-siakan. Apalagi keuntungan yang didapat bisa beberapa kali lipat dibanding hari biasa. Permainan anak-anak semacam korsel yang sering disebut odong-odong harganya dua kali lipat dari hari biasa. Jika hari biasa satu lagu cuma 500 perak, hari Minggu jadi 1000 rupiah. “Penyesuaian harga” ini tidak mengurangi minat anak-anak menaikinya. Jika satu odong-odong bisa memuat empat anak, berarti satu putaran atau satu lagu bisa mendapatkan 4 ribu rupiah. Jika satu lagu memakan waktu dua menit, dalam satu jam ia bisa mendapatkan 120.000. Angka yang lumayan besar mengingat kondisi ekonomi seperti sekarang ini.
Ida (50) yang berjualan gorengan, kopi dan rokok mengakui kalau di hari Minggu ia bisa mendapatkan omzet yang lumayan. Karena itu ia merasa sayang kalau tidak berjualan. Ketika ditanya tentang pilkada, Ida mengetahuinya, namun ia akan memilih setelah berjualannya selesai sekitar pukul 11. Mengenai omzet, Ida mengakui bisa mendapatkan sampai 200 ribu jika sedang beruntung.

Hal yang sama juga diungkapkan Nasikin (59) seorang pedagang lontong kari. Ia merasa tidak perlu terburu-buru untuk menghentikan aktivitas dagangnya hanya karena harus memilih. Pagi itu ditemani asistennya ia tampak sibuk melayani langganannya. Padahal ia mangkal tepat di depan Tempat Pembuangan Sampah Sementara Tegallega. Bau sampah tidak mengurangi selera pengunjung menikmati lontong kari buatan Nasikin yang memang enak rasanya. Berdasar pengakuannya hari Minggu merupakan hari hokinya. Namun, ia enggan untuk menyatakan dengan angka omzet yang diperolehnya. Tapi Nasikin bersemangat ketika diajak berbicara tentang pilkada. Menurutnya pemerintah masih kurang perhatian terhadap rakyatnya. Ia lalu memberikan contoh tentang konversi minyak tanah ke gas LPG. Menurutnya pemerintah kurang serius menangani konversi ini.

“ Masyarakat ‘kan banyak yang bodoh. Jadi tidak salah kalau takut pake kompor gas. Apalagi banyak kasus yang meledak. Seharusnya masyarakat diberi pelatihan dan ada pendampingan biar ngerti” ujarnya bersemangat.

Lalu ia bercerita kalau semalam ia bersama tetangganya membahas siapa yang pantas memimpin Jabar. Intinya mereka mengharapkan pembaharuan. Mereka berharap yang keluar sebagai pemenang pilkada adalah pemimpin yang mampu mengubah kondisi sosial ekonomi di Jabar. Pemimpin yang benar-benar memperhatikan rakyatnya. Pemimpin yang janji-janji selama kampanye benar-benar direalisasikan.
Bagaimana keadaan Tempat Pemungutan Suara (TPS) jika masyarakat masih sibuk dengan aktivitasnya di Minggu pagi ? Tidak jauh dari Lapangan Tegallega, sekitar pukul 9 pagi, di sebuah sekolah di Jalan Ibu Inggit Garnasih, sebuah TPS terlihat masih lengang. Menurut salah seorang petugas TPS, sesuai aturan TPS dibuka pukul 7 dan sudah ada beberapa warga yang menggunakan hak suaranya. Menurutnya TPS terkesan sepi karena TPS tersebut hanya diperuntukkan untuk dua RT. Jadi, tidak terlalu banyak warga memilih di tempat tersebut. Atau mungkin sebagian masyarakat memilih untuk bermalas-malasan di tempat tidurnya, mumpung hari libur.

Di luar Dugaan
Hasil Pilkada Jabar telah kita ketahui bersama. Pasangan Ahmad Heryawan dan Dede yusuf (Hade) memenangi kontes perebutan Jabar 1. Pasangan ini mengungguli pasangan incumbent Dani Setiawan – Iwan (Dai) dan Agum Gumelar-Nu’man (Aman). Hasil ini di luar perkiraan banyak pengamat. Bahkan dari jajak pendapat sebelum pemilihan, pasangan Aman lebih populer di mata masyarakat Jabar. Pasangan Aman juga didukung oleh paling banyak partai sehingga di atas kertas peluang unggul sangat besar. Begitu juga dengan pasangan Dai. Pasalnya, Dai yang didukung oleh partai Golkar dan Demokrat punya peluang besar menang karena Jabar dikenal sebagai basis Golkar.

Banyak pengamat menenggarai kekalahan Dai dan Aman disebabkan kurang memperhatikan pemilih yang memilih untuk pertama kali. Golongan ini tentu saja merupakan anak-anak muda yang berusia sekitar 17 – 23 tahun. Cara berpikirnya tentu berbeda dengan orang tuanya. Apakah di mata mereka figur Dede Yusuf lebih populer ? Ataukah mereka memang tidak menyukai figur Dai dan Aman ? Bisa jadi figur Dede lebih dekat dengan mereka. Bisa jadi golongan pemilih ini lebih menyukai pilihan yang mewakili mereka: muda, energik dan sedang berjuang untuk hidup yang lebih baik dibandingkan pasangan lainnya yang tergolong kelompok mapan dan status quo.

Pengamat lain mengatakan, kemenangan Hade merupakan fenomena pemilihan kepada daerah. Masyarakat sudah bosan dengan berbagai macam penderitaan. Di sisi lain upaya pemerintah tidak dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Para elite politik sibuk dengan urusannya sendiri dengan mengabaikan hak-hak yang seharusnya diterima masyarakat.
Bisa jadi pendapat keduanya benar. Masyarakat ingin pemimpin yang dekat di hati masyarakat, bisa memperbaiki keadaan masyarakat dan tentu saja pemimpin yang peduli dan pro masyarakat bukan pada dirinya atau kelompoknya.***

No comments: